Musim kemarau di kampong menjadi berkah tersendiri
kelihatannya bagi anak2. Kalo dulu kami masih kecil, musim kemarau adalah musim
yang ditunggu-tunggu, karena banyak permainan yang bisa dimaenkan. Bisa maen layangan, maen bola, maen air (bakunyungan),
maen ketapel (burung), cari ikan di danau yang kering, cari belut, cari udang,
maen perang2ngan, maen karet, maen gepok biji karet, maen sembunyi2an, maen
perahu dan banyak lagi…
Kalo malam hari cari ikan, duduk2 di pasir tengah sungai
(gosong) sambil bakar ikan dan
cerita2. Dengan bawa sarung mengelilingi api unggun, pokoknya ramelah dan
maunya sepanjang tahun itu kemarau aja. Kami dulu tidak takut kurang air,
karena hutan di samping kampong masih lebat sehingga mata air tetap mengalir dengan
derasnya. Sekarang setelah masuknya kebun sawit banyak mata air yang hilang,
hutan yang dulu lebat dan rimbun sudah menjadi hamparan sawit yang kaya
permadani. Dan menurut cerita dari orang-orang pinter bahwa kelapa sawit (Elaeis) bisa menyebabkan banjir dan
kemarau. “Ini karena sifat kelapa sawit
yang tidak menyerap air hujan diwaktu hujan dan menyerap air diwaktu musim
kemarau”, ini menurut seorang Profesor dari Universitas Riau, yaitu Prof.
Dr. Ir H. Adnan Kasry.
Ini mungkin sudah mulai terjadi di kampungku, dulu belum
ada yang namanya perkebunan kelapa sawit, jangankan kebun melihat pohonnya saja
masyarakat tidak tahu apalagi kegunaannya. Sekarang hamper 60 persen wilayah
kampungku sudah ditanamami sawit, masyarakat berbondong2 menjual tanah dengan
sangat murahnya untuk perkebunan dan sangat bangga bisa kerja di perkebunan
sawit. Aku bilang sama isteriku “mungkin
jaman sudah berubah, dulu kami sudah bangga kalo punya perahu karena sungai
merupakan urat nadi trasportasi dan tempat kami mencari nafkah, tapi sekarang
coba liat hamper tiap rumah orang udah punya kendaraan roda dua, dan coba lihat
di sungai, perahu-perahu mereka sudah mulai bocor dan hancur tidak dirawat
lagi, karena mereka menganggap sungai bukan tempat hidup lagi, padahal nenek
monyak kami dahulu hidup disungai”, dan tidak pernah kami mendengar ada
anak2 desa yang tenggelam disungai atau dibawa arus kalo sungai sedang banjir,
karena kami menjaga sungai seperti kami menjaga rumah kami sendiri.
Sekarang, hamper satu minggu sekali kami dengar anak2
masuk parit dan got karena naik sepeda motor, ada yang patah tangan, kaki, dan
lecet-lecet karena naik sepeda motor kebut-kebutan dan ada yang sampai
meninggal dunia.
Dulu kalo pasir yang ada di tengah sungai di depan
kampong kami itu besar sekali bentuknya kalo disaat musim kemarau, dan kadang2
bentuknya berubah2 karena pengaruh arus sungai. Dan kami bisa bercengkrama
bersama keluarga di tengah sungai (gosong) sambil cerita2 dan bertemu dengan
handai tauladan serta sanak keluarga sebelum malam tiba. Dan kami sering
bermain2 menunggu orang tua kami yg baru datang dari ladang dan cari ikan di
danau dan sungai. Tapi sekarang orang turun ke pantai (gosong) hanya karena
ingin maen petasan dan kembang api saja, dan kalaupun ada anak2 yang bermain
itu bukan karena mereka suka maen tapi karena listrik mati sebab tipi tidak
bisa dilihat di rumah lagi.
Aku bersyukur anaku lebih senang maen di pasir gosong ini
daripada melihat tipi dirumah, dan anakku yang besar bilang ini pantai, “ ayah kita kepantai yu untuk mandi”,
awalnya aku tidak begitu mengerti tapi setelah aku pikir2 boleh juga nih,
gosong kita sebut pantai. Jadi memang anaku senang sekali dan kalo bisa tiap
waktu maennya di pantai ini. Dan kalo dibandingkan dengan pantainya di Bali
sono, pantaiku dikampung ini lebih bersih dan tidak jorok, karena tidak ada
sampah, cuman yang kurangnya mungkin tidak ada orang bule-nya saja, kalo bule jawanya banyak juga, he..he…he
Kalo istilah “gosong”
sendiri aku tidak tahu dari mana asal muasal katanya, karena sejak kecil namanya
ya adalah gosong, kalo pasir yang muncul di waktu kemarau di tengah sungai itu.
Dan kami tidak pernah komplain dengan nama itu, karena tidak berimplikasi sara atau menghujat seseorang, jadi sampai sekarang belum ada yang menanyakan
apa arti “gosong”, itu, dan bagi kami tidak penting apapun namanya, yang jelas
anak2 bisa maen seperti kami dulu sewaktu kecil.
Telaga Pulang, 31 Agustus 2011
Ulasan yang menarik Jhon, sayang kamu koq pake huruf kecil banget yak? Aku jadi susah baca (maklum udah tuha ... hehehe).
BalasHapusSetahuku istilah "gosong" itu dikenal luas di tanah jajahan Melayu spt di negara kita ini. Ada juga yg bilang itu "gosong pasir" atau "gumuk pasir". Jadi mungkin aja itu berasal dari bahasa Melayu.
dibeberapa tempat juga namanya gososng, kalo urang banjar menyebutnya gosong jua, tapi urang dayak blum tahu apa namanya...
BalasHapusok mas, nanti tak buwat yg normal aja hurufnya.
lama ga posting, ternyata byk stok tulisan yg perlu di posting....
he..he..he,..