Selasa, 13 September 2011

MUDIK & GOSONG


Musim kemarau di kampong menjadi berkah tersendiri kelihatannya bagi anak2. Kalo dulu kami masih kecil, musim kemarau adalah musim yang ditunggu-tunggu, karena banyak permainan yang bisa dimaenkan. Bisa maen layangan, maen bola, maen air (bakunyungan), maen ketapel (burung), cari ikan di danau yang kering, cari belut, cari udang, maen perang2ngan, maen karet, maen gepok biji karet, maen sembunyi2an, maen perahu dan banyak lagi…

Kalo malam hari cari ikan, duduk2 di pasir tengah sungai (gosong) sambil bakar ikan dan cerita2. Dengan bawa sarung mengelilingi api unggun, pokoknya ramelah dan maunya sepanjang tahun itu kemarau aja. Kami dulu tidak takut kurang air, karena hutan di samping kampong masih lebat sehingga mata air tetap mengalir dengan derasnya. Sekarang setelah masuknya kebun sawit banyak mata air yang hilang, hutan yang dulu lebat dan rimbun sudah menjadi hamparan sawit yang kaya permadani. Dan menurut cerita dari orang-orang pinter bahwa kelapa sawit (Elaeis) bisa menyebabkan banjir dan kemarau. “Ini karena sifat kelapa sawit yang tidak menyerap air hujan diwaktu hujan dan menyerap air diwaktu musim kemarau”, ini menurut seorang Profesor dari Universitas Riau, yaitu Prof. Dr. Ir H. Adnan Kasry.

Ini mungkin sudah mulai terjadi di kampungku, dulu belum ada yang namanya perkebunan kelapa sawit, jangankan kebun melihat pohonnya saja masyarakat tidak tahu apalagi kegunaannya. Sekarang hamper 60 persen wilayah kampungku sudah ditanamami sawit, masyarakat berbondong2 menjual tanah dengan sangat murahnya untuk perkebunan dan sangat bangga bisa kerja di perkebunan sawit. Aku bilang sama isteriku “mungkin jaman sudah berubah, dulu kami sudah bangga kalo punya perahu karena sungai merupakan urat nadi trasportasi dan tempat kami mencari nafkah, tapi sekarang coba liat hamper tiap rumah orang udah punya kendaraan roda dua, dan coba lihat di sungai, perahu-perahu mereka sudah mulai bocor dan hancur tidak dirawat lagi, karena mereka menganggap sungai bukan tempat hidup lagi, padahal nenek monyak kami dahulu hidup disungai”, dan tidak pernah kami mendengar ada anak2 desa yang tenggelam disungai atau dibawa arus kalo sungai sedang banjir, karena kami menjaga sungai seperti kami menjaga rumah kami sendiri.

Sekarang, hamper satu minggu sekali kami dengar anak2 masuk parit dan got karena naik sepeda motor, ada yang patah tangan, kaki, dan lecet-lecet karena naik sepeda motor kebut-kebutan dan ada yang sampai meninggal dunia.

Dulu kalo pasir yang ada di tengah sungai di depan kampong kami itu besar sekali bentuknya kalo disaat musim kemarau, dan kadang2 bentuknya berubah2 karena pengaruh arus sungai. Dan kami bisa bercengkrama bersama keluarga di tengah sungai (gosong) sambil cerita2 dan bertemu dengan handai tauladan serta sanak keluarga sebelum malam tiba. Dan kami sering bermain2 menunggu orang tua kami yg baru datang dari ladang dan cari ikan di danau dan sungai. Tapi sekarang orang turun ke pantai (gosong) hanya karena ingin maen petasan dan kembang api saja, dan kalaupun ada anak2 yang bermain itu bukan karena mereka suka maen tapi karena listrik mati sebab tipi tidak bisa dilihat di rumah lagi.

Aku bersyukur anaku lebih senang maen di pasir gosong ini daripada melihat tipi dirumah, dan anakku yang besar bilang ini pantai, “ ayah kita kepantai yu untuk mandi”, awalnya aku tidak begitu mengerti tapi setelah aku pikir2 boleh juga nih, gosong kita sebut pantai. Jadi memang anaku senang sekali dan kalo bisa tiap waktu maennya di pantai ini. Dan kalo dibandingkan dengan pantainya di Bali sono, pantaiku dikampung ini lebih bersih dan tidak jorok, karena tidak ada sampah, cuman yang kurangnya mungkin tidak ada orang bule-nya saja, kalo bule jawanya banyak juga, he..he…he

Kalo istilah “gosong” sendiri aku tidak tahu dari mana asal muasal katanya, karena sejak kecil namanya ya adalah gosong, kalo pasir yang muncul di waktu kemarau di tengah sungai itu. Dan kami tidak pernah komplain dengan nama itu, karena tidak berimplikasi sara atau menghujat seseorang, jadi sampai sekarang belum ada yang menanyakan apa arti “gosong”, itu, dan bagi kami tidak penting apapun namanya, yang jelas anak2 bisa maen seperti kami dulu sewaktu kecil.

Telaga Pulang, 31 Agustus 2011

2 komentar:

  1. Ulasan yang menarik Jhon, sayang kamu koq pake huruf kecil banget yak? Aku jadi susah baca (maklum udah tuha ... hehehe).

    Setahuku istilah "gosong" itu dikenal luas di tanah jajahan Melayu spt di negara kita ini. Ada juga yg bilang itu "gosong pasir" atau "gumuk pasir". Jadi mungkin aja itu berasal dari bahasa Melayu.

    BalasHapus
  2. dibeberapa tempat juga namanya gososng, kalo urang banjar menyebutnya gosong jua, tapi urang dayak blum tahu apa namanya...

    ok mas, nanti tak buwat yg normal aja hurufnya.
    lama ga posting, ternyata byk stok tulisan yg perlu di posting....

    he..he..he,..

    BalasHapus