“Memang kalo buah
itu jatuh pasti tidak jauh dari pohonnya” Perumpamaan ini
cocok dengan diriku saat ini. Anakku yang nomor duwa, pada saat ini berumur 2
tahun, tidak jauh dengan apa yang dulu aku lakukan disaat kecil. Maenanya juga
ngga jauh beda, suka maen diair, suka
jalan, suka maen perahu (jukung).
Ini terbukti sewaktu kami mudik lebaran, dimana
jukung-jukung banyak sekali di kampungku karena ini merupakan salah satu alat
trasportasi yang digunakan oleh penduduk setempat. Kami tidak perlu bayar kalau
pakai jukung, tinggal teriak aja dari tepi sungai untuk pinjam jukung, sudah
dibolehkan. Karena satu kampong kami adalah saudara semua, paling jauh kami
sepupu tiga kali, selebihnya adalah adik beradik.
JUKUNG merupakan alat transfortasi tradisional orang
kalimanatan. Sedangkan tumatan Wikipidia, Jukung[1] atawa Gubang[2] adalah
parahu kayu nang halus khas Indonesia. Dalam bahasa Banjar, jukung biasanya ada
jua ukurannya ganal. Jukung Banjar banyak talihat di batang banyu di Kalimantan
Salatan
Pada lebaran kali ini, memang sudah kami rencanakan untuk bulik kampong, sekalian mengenalkan
anak2 dengan saudara-saudara jauhnya juga mendekatkan mereka terhadap alam nenk
moyangnya. Dan ternyata yang paling senang adalah anakku nang nomor duwa, semua hal mau dicoba dan salah
satunya naik Jukung.
Anakku yang keduwa ini, paling suka naik jukung, lagaknya kaya orang dewasa saja,
langsung ambil dayung dan gayanya berlagak seperti orang mendayung perahu. Aku
sama istriku sampai sampai tidak habis pikir sikecil ngeliat siapa cara
mendayung jukung. Karena sebelumnya anakku yang kedua ini baru pertamakali maen
dikampung dan juga maen di sungai apalagi yang namanya ketemu dengan jukung.
Tapi memang kalo keduwa anakku ini suka sekali dengan
acara si bolang yang sering disiarkan
oleh salah satu tipi swasta di rumahku. Dimana anak2 ada yang mendayung perahu
dan mancing, mungkin karena sering nonton tipi acara si bolang ini kali, anakku yang keduwa ini langsung mempraktekannya
di kampungku.
Gaya dan tingkahnya sama dengan orang dewasa yang sudah
mahir mendayung, istriku nyeletuk “ sama kaya bapanya”, maksudnya dalam
urusan bermain2 dengan alam sudah menjadi darah dagingku (aku boleh banggalah…) karena asalanya aku adalah anak kampong yang
dikiri kanannya adalah hutan rimba, sungai dan danau.
Ini bisa dibuktikan dengan nama kampungku “ telaga pulang” artinya dimana2 banyak
dijumpai danau. Karena danau dikampungku disebut dengan nama “telaga”. Karena sangking banyaknya
danau alias telaga, maka kalo kita sedang mencari ikan pasti kita akan secara
tidak sengaja berkata” eh..telagaaaa
pulanggg,…eh..telagaaaa pulanggg… ”, maksudnya ??!!.. kita ketemu danau
terus, paling2 kita hanya ditutupi oleh barisan pohon kayu atau kumpai (rumput danau) setelah itu kita
akan ke temu danau lagi. Mungkin karena sebutan itu asal muasal nama kampungku “TELAGA PULANG”.
Telaga Pulang, 31 Agustus 2011
Baca posting ini jadi bikin ngiler pengen berkunjung ke Telaga Pulang lagi, terutama yang bagian cerita asal muasal nama kampung itu.
BalasHapusTapi ngomong2 itu "sepupu tiga kali" itu kira2 sama dengan berapa yaa?? ... hehehe
anak saya dgn anak ade saya = sepupu satu kali
BalasHapusanak saya dgn anak, anak ade saya = sepupu duwa kali dan anaknya anak saya dgn anaknya, anak anaknya anak ade saya atau cucu ade saya =sepupu tiga kali
Bingungkan....saya aja bingung...